Layanan Digitalisasi BRI, Buka Akses Lebih Luas bagi Masyarakat

Transformasi digital telah menjadi landasan utama bagi banyak perusahaan dan lembaga keuangan, termasuk Bank Rakyat Indonesia (BRI), yang telah berupaya keras untuk menghadirkan layanan yang lebih efisien bagi nasabahnya.

Bank ber-flat merah yang didirikan tahun 1895 ini telah mengukir jejaknya sebagai salah satu pilar utama dalam sektor perbankan di Indonesia. Dengan visi memberikan layanan yang inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat, BRI terus berinovasi dan menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi.

Namun, digitalisasi bukan sekadar mengikuti perkembangan teknologi, tapi juga tentang memberdayakan masyarakat agar tertarik memanfaatkan layanan finansial dengan lebih baik. Inilah alasan mengapa digitalisasi BRI menjadi tonggak penting dalam memajukan sektor perbankan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Sementara itu, BRI berusaha meningkatkan kualitas layanan terhadap nasabah dengan sederet langkah dan strategi yakni:


1. Meluncurkan Aplikasi Mobile

Dengan meluncurkan aplikasi mobile BRI,  nasabah kini dapat mengakses layanan perbankan tanpa batasan waktu dan tempat. Transaksi perbankan, mulai dari transfer dana hingga pembayaran tagihan, dapat dilakukan secara cepat dan efisien melalui genggaman smartphone. Hal ini tidak hanya memberikan kenyamanan, tetapi juga meningkatkan efisiensi pengelolaan keuangan bagi masyarakat.

2. Kartu Debit dan Kredit Digital untuk Transaksi Tanpa Tunai

BRI telah memperkenalkan kartu debit dan kredit digital sebagai upaya untuk mendorong masyarakat beralih ke transaksi tanpa tunai. Ini tidak hanya mempercepat proses transaksi, tetapi juga mengurangi risiko kehilangan atau pencurian kartu fisik. Dengan mengintegrasikan teknologi ke dalam sistem perbankan, BRI memberikan solusi yang aman dan praktis bagi nasabahnya.

3. Peningkatan Layanan Pelanggan melalui Chatbot dan AI

Digitalisasi BRI tidak hanya berfokus pada transaksi, tetapi juga pada pengalaman pelanggan. Dengan mengimplementasikan teknologi chatbot dan kecerdasan buatan (AI), BRI dapat memberikan layanan pelanggan yang responsif dan informatif. Nasabah dapat dengan mudah mendapatkan jawaban atas pertanyaan mereka tanpa harus mengunjungi kantor cabang, dan tentunya hal ini sangat praktis dan efisien

4. Pembiayaan Digital untuk UMKM

Bagi para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), BRI menyediakan platform pembiayaan digital. Ini memungkinkan UMKM untuk mengajukan pinjaman atau mendapatkan akses ke produk keuangan lainnya tanpa harus melalui proses yang rumit. Dengan memanfaatkan teknologi digital, BRI mendukung pertumbuhan sektor UMKM yang merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia.

5. Keamanan Data yang Terjamin

BRI sadar akan pentingnya keamanan data dalam era digital. Oleh karena itu, bank yang didirikan oleh Raden Bei Aria Wirjaatmadja ini memastikan data nasabah tetap aman dan terlindungi dari potensi ancaman keamanan cyber. Melalui langkah-langkah keamanan yang canggih, BRI menegaskan komitmennya untuk melindungi privasi dan keamanan finansial nasabahnya.

6. Edukasi Finansial Melalui Platform Digital

BRI tidak hanya berfokus pada transaksi keuangan, tetapi juga memiliki peran penting dalam meningkatkan literasi dan edukasi finansial masyarakat. Melalui platform digital, BRI menyediakan konten edukatif, webinar, dan tutorial yang dapat membantu nasabah untuk lebih memahami manajemen keuangan pribadi, investasi, dan perencanaan masa depan.

7. Inovasi Terus Menerus: Fintech dan Kolaborasi Industri

BRI terus menggali potensi inovasi dengan menjalin kemitraan dengan perusahaan fintech dan pelaku industri teknologi keuangan lainnya. Kolaborasi ini memungkinkan BRI untuk menghadirkan solusi-solusi terbaru, seperti layanan pinjaman tanpa agunan, investasi online, dan fitur-fitur baru yang mendukung kebutuhan keuangan yang berkembang pesat.

8. Respons Terhadap Perubahan Kebutuhan Masyarakat

Dengan terus memantau dan merespons perubahan kebutuhan masyarakat, BRI memastikan bahwa layanan-layanan digitalnya tetap relevan. Fleksibilitas dalam mengadaptasi model bisnis dan teknologi terbaru menjadi kunci kesuksesan dalam memberikan layanan yang memenuhi harapan dan tuntutan nasabah.

9. Penekanan pada Layanan Ramah Lingkungan

Sebagai bagian dari komitmen sosial dan lingkungan, BRI juga menyelaraskan upayanya dengan prinsip keberlanjutan. Digitalisasi layanan tidak hanya memberikan kemudahan kepada nasabah, tetapi juga mengurangi penggunaan kertas dan jejak karbon melalui transaksi digital, mendukung upaya untuk menciptakan layanan yang ramah lingkungan.

10. Penguatan Infrastruktur Teknologi

BRI terus menginvestasikan dalam pengembangan infrastruktur teknologi untuk memastikan kinerja yang handal dan cepat. Dengan meningkatkan kapabilitas teknologinya, BRI dapat memberikan layanan yang responsif, skalabel, dan dapat bersaing dalam era perbankan digital yang terus berkembang.

Dengan terus mengembangkan dan meningkatkan layanan digitalnya, BRI bukan hanya menjadi lembaga keuangan, tetapi juga mitra dalam memandu masyarakat Indonesia menuju era keuangan digital yang lebih inklusif, efisien, dan berkelanjutan.




Lika Liku Sigaret Kretek Tangan, Diproses Secara Manual Hingga Sukses Dongkrak Perekonomian

Dari kejauhan terlihat beberapa orang tengah khusuk menekuri areal seluas lima petak sawah yang ditanami tembakau. Tangan mereka bergerak lincah mengusir ulat yang merubung bibit tembakau. “jika tak diawasi, ulat siap menghabisi kuncup daun,” ujar Bahri, salah seorang petani tembakau di Desa Bakeong, Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Para petani beko-bahasa Madura tembakau-biasa menghabiskan waktu belasan jam di sawah. Mereka harus siaga merawat tembakau selama 40 hari sampai bibit siap jual atau ditanam sendiri

Selain berjibaku dengan ulat, para petani juga mesti menjaga kelembaban tanah dan memperhatikan cuaca. Jika sedang musim kemarau, tembakau harus disiram siang-malam agar tak kering kerontang. Sementara jika masuk musim penghujan, petani harus menapis air agar tembakau tak kuyup dan busuk.

Namun setelah panen, daun tembakau tak lantas digiring ke pabrik rokok. Ada para bandol, sebutan untuk para tengkulak yang mencari tembakau ke desa-desa, siap mendatangi rumah petani beko untuk negosiasi hasil panen. Ada banyak bandol dengan beberapa tingkatannya. Bandol besar adalah mereka yang punya hubungan langsung ke pabrik rokok, baik kecil maupun besar. Lalu di bawahnya ada bandol tengah, yang membeli tembakau untuk dijual lagi ke bandol yang lebih besar.

Sementara itu, di Temanggung, Jawa Tengah, bandol disebut grader. Biasanya, grader juga berprofesi sebagai perangkat desa. Berbeda dengan di Pamekasan, grader dan beberapa tingkatan di bawahnya sudah memilih tembakau sejak bibit, perawatannya, hingga setelah panen. Kemudian, tembakau ini diolah lagi dan diproduksi menjadi rokok atau sigaret. Jadi, mata rantai produk satu ini (dari berbentuk orok, dewasa, hingga siap dipasarkan), menyerap banyak pekerja, memberikan pemasukan, serta dapat menggerakkan roda perekonomian baik daerah maupun nasional.

Jamak diketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara terbesar dalam industri hasil tembakau. Industri tembakau sendiri merupakan industri hasil pertanian yang mampu memberikan kontribusi pendapatan terbesar kepada negara melalui cukai dan pajak. Salah satu produknya yakni sigaret kretek tangan (SKT) yang dihasilkan beberapa perusahaan ternama seperti PT Djarum, Gudang Garam, dan Sampoerna.

Sigaret kretek tangan adalah jenis rokok asli Indonesia yang terbuat dari campuran tembakau, cengkeh, dan bahan-bahan lainnya. Namun juga dapat mengandung campuran rempah-rempah atau bumbu racikan khusus untuk memberikan rasa yang unik.

Proses pembuatan SKT melibatkan gulungan tangan atau dilinting, setelah itu dirapikan dengan menggunting sisa-sisa tembakau yang menyembul dari ujung gulungan. Selanjutnya proses terakhir, sigaret dimasukkan ke dalam kemasan. Lumayan merepotkan, memang. Namun karena pembuatannya yang masih manual inilah menjadikan SKT sebagai bagian warisan budaya Indonesia.

Sigaret kretek tangan memiliki sejarah panjang di Indonesia. Kretek tradisional ini pertama kali dikembangkan oleh Haji Jamhari pada akhir abad ke-19, seorang pedagang tembakau dari Kudus, Jawa Tengah. Haji Jamhari menciptakan kretek dengan mencampur tembakau, cengkeh, dan gambir. Inovasi ini mendapat sambutan positif karena memberikan rasa yang unik dan aromatik.

Awalnya, produksi kretek tangan terbatas pada skala rumahan dan lokal. Namun, seiring berjalannya waktu, industri ini berkembang pesat. Kretek tangan menjadi produk rokok yang diminati oleh masyarakat, dan banyak perusahaan rokok yang memproduksinya secara massal.

Penting untuk dicatat bahwa kretek tangan memainkan peran penting dalam identitas budaya Indonesia. Penggunaan cengkeh dalam kretek memberikan sentuhan tradisional yang khas. Meskipun ada perubahan regulasi terkait rokok di Indonesia, sigaret kretek tangan tetap menjadi bagian integral dari sejarah dan budaya tembakau di negara ini.

Perlu diketahui SKT tidak hanya merujuk pada kebiasaan merokok, tetapi juga memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian nasional dan daerah. Beberapa kontribusi SKT di antaranya:

1. SKT mampu membuka lapangan pekerjaan dalam skala besar dan memberikan penghidupan bagi masyarakat lokal. Proses pembuatannya yang melibatkan gulungan tangan mendorong kelanjutan hidup bagi masyarakat setempat, termasuk para perajin tembakau dan pembuat cengkeh. Hal ini memberikan kontribusi positif terhadap tingkat pengangguran di daerah-daerah produksi.

2. Industri rokok, termasuk segmen kretek tangan, secara signifikan menyumbang pendapatan negara melalui pajak. Pendapatan dari pajak ini dapat digunakan untuk mendukung program-program pembangunan nasional, termasuk kesehatan dan pendidikan. Oleh karena itu, kontribusi finansial dari industri ini penting untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional.

3. Daerah-daerah yang menjadi pusat produksi rokok kretek tangan sering kali mengalami pengembangan infrastruktur. Produksi rokok dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, termasuk pembangunan jalan, perumahan, dan fasilitas publik lainnya. Hal ini menciptakan lingkungan yang mendukung bagi masyarakat sekitar.

4. Pendukung Agribisnis Tembakau dan Cengkeh. Produksi sigaret kretek tangan bergantung pada pasokan tembakau dan cengkeh yang berkualitas. Oleh karena itu, industri ini secara tidak langsung mendukung agribisnis tembakau dan cengkeh. Petani lokal yang terlibat dalam produksi bahan baku ini mendapatkan manfaat langsung dari segi ekonomi, juga berdampak pada rantai pasokan pertanian.

5. Sigaret kretek tangan bukan sekadar produk rokok atau bisnis penghasil cuan, tetapi juga bagian dari tradisi dan budaya Indonesia. Hal ini dapat meningkatkan daya tarik pariwisata budaya di daerah produksi. Dalam hal ini, wisatawan dapat melihat secara langsung proses pembuatan rokok kretek tangan dan mengenal lebih dekat kebudayaan lokal.

6. Produk kretek, termasuk sigaret kretek tangan, merupakan komoditas ekspor utama Indonesia. Ekspor produk kretek dapat memberikan kontribusi positif terhadap penerimaan devisa negara.

Mengingat besarnya kontribusi segmen sigaret kretek tangan bagi perekonomian nasional dan daerah, tak bisa dipungkiri bahwa industri ini turut menopang perekonomian negara. Meski demikian, tuduhan mengenai dampak buruk produk ‘berasap’ ini terus digaungkan. Betul bahwa kretek, apapun bentuk dan jenisnya berisiko bagi kesehatan. Adapun badan legislasi telah membuat aturan tentang batas tar dan nikotin. Dan setiap pabrik maupun usaha lokal punya standar sendiri untuk cengkeh dan tembakaunya.

Namun, supaya kisruh rokok versus antirokok tak berlanjut, di sinilah perlunya peran pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk melahirkan regulasi yang tepat dan langkah-langkah yang bijak, agar kontribusi ekonomi sigaret kretek tangan dan kesehatan masyarakat bisa diseimbangkan.

Konvensi Ilusi

Setelah sekian lama menyimpan misteri dalam penentuan sosok yang akan diusung untuk pemilukada DKI Jakarta, akhirnya PDIP menjatuhkan pilihannya pada Ahok.

Petahana yang lekat dengan ciri emosional dan nyablaknya itu menjadi calon final yang disandingkan dengan Djarrot, kader PDIP yang juga menjabat sebagai wakil Gubernur DKI Jakarta.

Tadinya saya mengira konvensi yang digelar PDIP kemarin bakal menampilkan bintang baru, setidaknya kader sendiri. Meski bukan bintang terang, tapi mampu menjadi pesaing Ahok dalam kancah pemilihan Gubernur. Sebab perhelatan seleksi balon kepala daerah yang digawangi oleh PDIP tersebut sangat elegan sekaligus serius. Rasanya wajar jika publik memiliki ekspektasi lebih.

Namun rupanya PDIP tak bisa move on dari sosok pria etnis Tionghoa tersebut.

Betul bahwa dalam politik tidak ada hitam atau putih, sulit ditebak apalagi dipastikan. Akan tetapi konvensi yang digelar sedemikian rupa malah menyisakan kekecewaan bagi banyak pihak. Beragam komentar pun menghambur. PDIP dianggap miskin figur, mencla mencle, dan kehilangan marwah sebagai partai dengan jargon demokrasi.

Hal ini mengingatkan saya pada konvensi serupa yang pernah dihelat oleh partai demokrat, dimana Dahlan Iskan harus menelan pil pahit karena merasa telah dipecundangi oleh Susilo Bambang Yudhoyono.

Tampaknya PDIP tak cukup arif menarik pelajaran dari pengalaman. Atau barangkali prilaku partai memang demikian?

Disini saya tidak mempersoalkan pribadi  Ahok yang diusung PDIP. Bahkan jauh sebelumnya saya juga mengetahui taktik ‘konvensi’ PDIP. Sebab praktek demikian sudah pernah terjadi di negeri ini.

Akan tetapi, perkara yang saya garis bawahi mengapa pada akhirnya, di saat panjangnya waktu konvensi, PDI-P tidak memunculkan bintang baru, melainkan menasbihkan nama Ahok sebagai kontestan Pemilukada.

Betul bahwa parpol memiliki rule game tersendiri. Tapi aturan main juga ada rambu-rambunya, memiliki adab. Itu sebab saya kekeuh mempertanyakan mengenai kebiasaan (buruk) parpol, terlebih perkara konvensi.

Bisa dikatakan, parpol merupakan perwakilan untuk menyaring figur, baik DPR, Gubernur dan Presiden. Jika parpol tak lagi bisa dipercaya, dan kepada kinerja para dewan/kepala daerah pun pemilih sudah kehilangan harapan, lalu apa gerangan yang jadi pedoman bagi para pemilih kelak?

Di sini saya tidak sedang menyoal rumah tangga partai. Hanya saja dari konvensi (kalaulah ia bisa disebut konvensi) yang diadakan PDIP, rakyat mampu melihat wajah partai lebih dekat, bahwa partai era kini, hanya mampu menghadirkan ilusi.

 

Menjadi Persona Non Grata di Negeri Sendiri

Beberapa hari lalu, kita dikejutkan mengenai status kewarganegaraan seorang Archandra Tahar, menteri ESDM di Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. Tadinya saya menganggap hal tersebut hanya sebuah desas-desus yang sengaja dihembuskan oleh rival di sekitar Presiden. Sebab kursi kepresidenan merupakan sasaran empuk bagi gosip, cibiran, provokasi dan intervensi. Karena itu saya memilih cooling down sembari terus mengamati.

Namun informasi yang kali pertama dibunyikan oleh Ferdinand Hutahean, pengamat energi dari LSM Energy Watch Indonesia, ternyata bukan bisik-bisik tetangga. AT, memegang dua paspor yakni Amerika Serikat dan Indonesia. Sontak seluruh mata memandang AT sebagai ‘persona non grata’, sosok yang tidak diinginkan, tidak disukai. Berupa-rupa komentar segera berhamburan seperti peluru, dari seluruh penjuru. AT dipergunjingkan, dibahas, dianalisa. Tak ayal, pemuda kelahiran Padang-Sumatera Barat ini menjadi topik panas di negerinya sendiri, Indonesia. Sebuah negeri yang penduduknya tergolong pintar-pintar dalam berkomentar, rajin membaca, mayoritas berprofesi sebagai pengamat dan ahli.

Mengenai kasus dwikewarganegaraan yang menimpa AT, saya berusaha menahan diri, tak hendak latah berkomentar. Saya tak ingin terjebak dalam kenyinyiran yang terstruktur. Seperti kata Maria, tokoh rekaan Coelho dalam novel kontroversialnya Eleven Minutes, ‘mereka suka berpura-pura mengetahui sesuatu, supaya dianggap lebih berbudaya dan lebih cerdas’.

Sebab sampai saat ini saya belum benar-benar memahami mengapa perkara dwikewarganegaraan menjadi ‘sebuah masalah’. Padahal kita selalu menyaksikan bagaimana status warga negara para pemain bola Indonesia dinaturalisasi secara by pass, kemudian para artis berdarah campuran (status warga negaranya masih dipertanyakan) yang wara-wiri di dunia pertelevisian, belum lagi mereka yang berkewarganegaraan ganda namun belum atau tak terdata, yang mengais rezeki di Indonesia.

Lagipula, bukankah kita sangat mengagumi produk-produk asing dan sebelumnya tak pernah bermasalah dengan itu? Kita termehek-mehek dengan bule yang mengucapkan ‘apa kabar, selamat pagi’. Kita langsung jatuh hati pada orang asing yang menyantap nasi goreng dan mengunyah-ngunyah bakso. Kita merasa berkelas ketika berbicara keinggris-inggirisan. Kita ‘menjadi’ keren dengan menggunakan Chanel, Louis Vuitton, Prada, atau Zara. Kita gandrung pada semua pelakon felem-felem luar negeri mulai dari Mahabharatta, Uttaran, Fatmagul, Full House, dan sebagainya. Malah, dengan bangganya salah seorang pemilik perusahaan media televisi mengundang artis-artis tersebut berlenggak lenggok di layar kaca. Sebagian kita menangis haru, sebagian lagi menjerit bahagia seraya melonjak-lonjak kegirangan. Kalau bisa jumpalitan.

Lalu kenapa giliran status dwi kewarganegaraan tersebut terselip di kursi menteri, semudah itu kita meradang? Dengan gagahnya kita berteriak-teriak tentang nasionalisme. Tanpa berusaha menyelami akar masalah, kita tuduh AT sebagai double agent yang sengaja disusupkan untuk mencuri informasi rahasia negara. Kita paksakan segala quote dari tokoh-tokoh untuk menyoal status dwikewarganegaraan AT. Kita menggelarnya pembohong. Dengan gegabah kita mulai membentuk opini dengan menyebutnya imperialist yang memanifestasikan diri dalam bentuk WNI.

Kita tahu bahwa AT besar dan tumbuh di Indonesia. Kita tahu pula ia mengenyam pendidikan sejak Sekolah Dasar hingga berhasil menamatkan studi di Institut Teknologi Bandung. Setelah itu AT hijrah ke Texas, melanjutkan kuliah ke University Ocean Engineering, dan menetap selama 20 tahun lebih di Amerika. Karena kejeniusannya (memiliki pengalaman selama14 tahun di lapangan dalam bidang hidrodinamika dan teknik offshore, memiliki 3 hak paten yang berkaitan dengan offshore seperti teknologi McT ‘Multi Column TLP’ Floating Platform dan menjadi salah satu standar hidrodinamika untuk industri, sumber: detik.com), AT ‘dihadiahi’ WN Amerika. Lantas berdasarkan masa menetap dan bukti paspor Amerika tersebut dengan tergesa-gesa kita mencapnya tidak nasionalis?

Saya ingin mengajak kita berjalan-jalan sebentar ke masa lalu, melongok episode era Sutan Sjahrir, salah seorang Bapak Revolusi sekaligus Perdana Menteri pertama Indonesia. Sjahrir, disebut elitis karena orientasinya terhadap barat dinilai sangat kental oleh para pemimpin kala itu. “Aku relatif kurang populer di kalangan orang-orang nasionalis dan intelektual di Indonesia. Ini untuk sebagian besar disebabkan karena aku mempunyai apa yang disebut mereka itu ‘kecenderungan-kecenderungan Barat’ dan beberapa orang malahan mengatakan aku ‘kebelanda-belandaan’”, (Banda Neira, 9 Maret 1936). Anggapan tersebut semakin kuat ketika ia memilih menggembleng diri di Belanda dengan tujuan studi pada tahun 1929. Kepribadiannya dinilai sangat lekat dalam iklim Barat. Namun tuduhan tak berhenti sampai di situ, tak tanggung-tanggung ia bahkan dituduh menjual negara.

Ia mengkritik perjuangan politik yang kaku, yang bertuankan moralitas. Seperti termaktub dalam salah satu suratnya selama berada di pengasingan di Banda Neira “Politik untuk orang-orang kita di sini bukan berarti: perhitungan, melainkan bertindak etis, berbuat dan bersikap moral tinggi. Pemimpin-pemimpin haruslah pahlawan-pahlawan, nabi-nabi.”

Di sini, saya tidak sedang berusaha mensejajarkan kepahlawanan Sjahrir yang digelar ‘Bung Kecil’ dengan AT sebagai (mantan) menteri ESDM, meski keduanya sama-sama pemuda Sumatera Barat. Akan tetapi, motif yang disematkan pada Sjahrir, menjadi motif yang sama pula yang disematkan pada AT: antek asing, tidak nasionalis.

Padahal, tentang nasionalisme ini Sjahrir pernah menulis dalam suratnya “aku hampir-hampir hendak mengatakan bahwa nasionalisme ialah proyeksi daripada kompleks inferioritas dalam hubungan kolonial antara bangsa yang dijajah dan bangsa yang menjajah. Jadi, dari semula dasar propaganda nasionalistis adalah suatu perasaan yang tidak rasional.”

Mendapati kasus ini, beribu tanya berkelebat di benak. Akan tetapi saya tak ingin menduga-duga seperti mana dilontarkan orang-orang di berbagai sosial media: mengapa AT bisa lolos screening test sebagai menteri ESDM, siapa behind the scene di balik nama AT, mengapa namanya bisa masuk daftar menteri, mengapa sekelas Presiden yang memiliki pembantu lengkap bisa kecolongan, bagaimana status AT jika dlihat dari kacamata hukum, bagaimana dengan program-program yang telah ditandatangani AT, apakah AT melanggar konstitusi, atau ini murni kesalahan Presiden, ini ulah AM. Hendropriyono, ini permainan Megawati, ini ketololan Sutiyoso berserta intel Banyu Biru, dan beragam tanya serta dugaan lainnya.

Sebab bagi saya sikap menduga-duga hanyalah milik dukun, tukang ramal atau paranormal, bukan ciri seorang intelektual. Saya juga tak hendak tergolong sebagai ‘pengguna sosial media paling berisik tapi tak ada signifikansi’, seperti kata Macbeath. Jadi saya menahan diri untuk tidak mengatakan apa-apa yang saya tidak ketahui. Tidak hendak membicarakan apa-apa, yang saya hanya memiliki sedikit pengetahuan dan informasi tentangnya.

Selain itu, berbagai kelemahan saya seperti jarak yang jauh dari lingkar kekuasaan, tidak terdaftar sebagai anggota persatuan mahasiswa indonesia amerika, serta tidak mengambil prodi hukum, membuat saya tak kuasa untuk mengomentarinya lebih jauh. Dan yang terpenting, saya tak ingin tulisan ini bertujuan hanya untuk menambah kisruh dan menciptakan polemik, terlebih lagi berpotensi fitnah.

Namun perlu saya tekankan bahwa saya tak melarang siapapun berkomentar mengenai kasus dwikewarganegaraan AT, sebab saya tak kuasa membungkam mereka yang teramat bernafsu mengeluarkan pendapat. Ditambah lagi, sistem demokrasi yang kita anut menolerir hal itu. Setiap orang bebas berkicau apa saja, terlepas dari benar atau salah, fakta atau dusta, mutakhir atau sumir.

Benar adanya bahwa negara ini dikelola atas nama konstitusi, dan untuk kasus AT, Indonesia tidak menganut dwikewarganegaraan sebagaimana ditegaskan pada pasal 23 Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006. Akan tetapi AT meyakinkan bahwa ia masih memegang paspor Indonesia. Ia datang ke Indonesia atas seizin Presiden yang menugaskannya menjadi Menteri ESDM menggantikan Sudirman Said yang baru-baru ini direshuffle.

Rupanya ‘wajah Padang’ dan ‘logat kental daerah’ yang ia tunjukkan tak menjadi penawar bagi pemegang kebijakan. Ternyata pengalaman belasan tahun serta segala paten yang ia miliki tak menjadikannya mempan berhadapan dengan pembuat keputusan. AT dipecat secara hormat dari tugasnya sebagai Menteri ESDM. Ia jadi menteri ke dua setelah Mahfud MD (Menteri Pertahanan era Abdurrahman Wahid yang menjabat selama 21 hari) yang menduduki kursi menteri tercepat, terhitung 20 hari sejak menjabat.

Belajar dari perkara yang mementalkan AT dari kursi menteri, saya coba melihat dari sisi paling utara bahwa,

  1. Politik menjadi sangat seru bila yang berada di arena adalah presiden dan partai pengusung
  2. Presiden yang berasal dari sipil sangat rentan akan gesekan. Karena secara politis, sebenarnya ia berdiri ‘sendirian’. Ia senantiasa dikelilingi oleh macan-macan lapar yang siap menerkam mangsa. Berbeda halnya dengan pemimpin dari kalangan militer. Otomatis ia akan bersikap jumawa menggenggam tahta, karena merasa ada sebuah kekuatan terorganisir yang siap sedia mem-back up-nya. (Khusus di Indonesia, kecenderungan pejabat militernya yang suka ikut campur dalam urusan politik).
  3. Ketika seorang pemimpin merasa telah berada di jalan lurus, ternyata dalam perjalanan yang sesungguhnya, ia baru menyadari bahwa berpuluh tikungan menantinya di depan. Ia keseleo di jalan mulus
  4. Kekuasaan ibarat dua sisi mata uang. Seperti kata Goenawan Mohamad dalam Capingnya yang berjudul ‘pemimpin’: justru di pucuk kekuasaan lah seseorang perlu melihat bahwa kekuasaan itu tak hanya membantunya naik, tapi juga memerosotkannya pelan-pelan
  5. Terakhir, saya hendak mengutip kalimat Vaclac Havel, mantan Presiden pertama Cekoslowakia: ‘politik seperti sebuah medan perang para lobbyist (untuk kepentingan spesifik) yang terpisah-pisah’.

Pada akhirnya, saya ingin menutup tulisan mengenai dwikewarganegaraan ini dengan pernyataan Sjahrir ketika Partai Sosialis Indonesia yang ia gawangi gagal dalam pemilihan umum, sebagaimana saya kutip dalam Tempo edisi 100 Tahun Sjahrir tanggal 15 Maret 2009. Sjahrir menuliskan pernyataan tersebut di harian Sikap, 5 Desember 1955, dalam artikel bertajuk ‘Pemilihan Umum Untuk Konstituante’: “para politikus dengan kekurangan pengalaman dan pengetahuan mungkin dapat membawa negara ke jalan buntu, tapi seluruh rakyat akan membantu negara menemukan jalannya.”

 

Dinna F. Norris

Menakar ‘Sensasi’ Nikah Dini

Selain bersliweran di linimasa, kotak pesan akun facebook saya pun disesaki perihal anak lelaki Ustadz kondang yang menikah di usia 17 tahun, kendati undang-undang negara mensaratkan 18 tahun menjadi angka standar untuk melepas status lajang.

Beragam komentar dilontarkan. Ada mendukung ada pula menentang. Rupanya ‘sensasi’ nikah dini masih hangat padahal kejadiannya telah berlangsung beberapa pekan.

Tadinya saya tak hendak berkomentar. Sebab bagi saya perihal demikian bukan perkara urgensi. Meminjam bahasa ayah ‘tak masuk daftar’. Tapi orang-orang mulai berisik. Kesendirian saya diadu dan dibanding-bandingkan dengan ‘peserta’ nikah muda. Bahkan postingan saya di sosial media mengenai debat, disebut-sebut terinspirasi dari aksi debat pasangan muda yang berhujung ke pelaminan.

Aih, benar-benar kenyinyiran yang melampaui batas. Sungguh mengada-ada. Padahal kenyataannya, hal itu telah sudah terjadi sejak saya duduk di bangku kuliah di sebuah universitas ber-flat merah. Perbincangan bertema debat, antara anak dan ayah.

Sebenarnya saya tak tersinggung, akan tetapi jadi sedikit latah untuk berkomentar. Karena itu saya ikut bersuara dan memutuskan menulis kisah ini.

Ketika membaca inbox, segera saya menerka bahwa masyarakat kita cenderung heboh menyikapi sesuatu. Mudah panik mendapati hal baru. Sangat reaktif hingga pada akhirnya terkesan nyinyir dan sok tahu.

Bisa di-searching tentang mereka yang menikah dini, salah satunya pasangan Alvin Arifin Ilham. Lalu? Saya pikir tak perlu disikapi dengan terlalu. Sebab mereka telah memilih apa yang mereka mau. Lagipula Tuhan sudah menuliskan di Lauh Mahfudz apa-apa yang akan berlaku pada setiap makhluk. ‘Kun fayakun’, bunyi firmanNya dalam surah Yasin. Lalu, mengapa lagi ditaksir-taksir? Bukankah kita sepakat bahwa takdir berada di ujung usaha manusia? Sehingga ketika telah berusaha, maka ketika itu pula ‘pasrah’ menjadi nama depan kita.

Perlu diketahui bahwa menikah dini bukan kontes: siapa lebih dulu maka dia paling berani. Tidak sesempit itu memaknainya. Jika demikian, setelah menyandang gelar paling berani nikah dini, what next? Apa mereka juga akan mengadakan lomba ‘paling berani poligami’?

Menikah dini pula, bukanlah sesuatu yang bisa dibanding-bandingkan dengan perang merebut tanah ulayat. Seperti postingan seorang ahli parenting dalam akunnya: ‘Sultan Muhammad Al Fatih bisa menaklukkan Constantinople sebelum usia 22 tahun, sedangkan banyak lelaki sekarang belum bisa menaklukkan hati wanita dan calon mertua setelah usia 32 tahun’.

Usaha komparasi tersebut terkesan ngawur dan kebablasan. Karena beliau tidak cukup fair membuat perbandingan, tidak ‘apple to apple’. Betul bahwa perang dan cinta sama-sama memerlukan keberanian. Tapi perang adalah satu hal sementara cinta adalah hal lain lagi. Perang menuntut keberanian untuk menghadapi pemberontakan dan menaklukkan penjajah, sementara cinta menuntut keberanian menaklukkan rasa takut dan segala kekhawatiran. Dalam perang, kau akan siap menebas leher musuh. Dalam cinta, leher siapa yang akan kau penggal? Pujaan hati? Mertua? Tuan kadi?

Kembali ke topik awal, mengapa harus nikah dini jika usia muda yang katanya ‘masa remaja’, menyediakan tombol ‘ON’ untuk dinikmati? Bukankah dari segia usia, nikah dini dapat disebut cukup belia hingga dianggap sangat berperan menambah gendut populasi?

Oleh beberapa pakar, usia 17 tahun memang dikategorikan masa remaja, yaitu masa transisi antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur 11 tahun hingga 21 tahun. Tapi saya tak hendak mengamininya. Sebab bagi saya, apabila seseorang telah dapat dikatakan normal, sehat lahir batin, tidak sakit, tidak mengidap kelainan mental, bisa tulis baca, mampu menggunakan akal pikiran dengan sempurna, maka ia boleh melakukan apapun sesuai dengan kehendaknya. Artinya bahwa, dengan memutuskan nikah dini maka mereka jadi lebih bergegas daripada jomblo. Lebih bersegera merancang masa depan berkeluarga, merangkai program, merumuskan rencana. Mereka lebih cepat mengambil tanggung jawab serta menerima resiko yang datang nantinya.

Sementara itu, jika dilihat dari tolak ukur Negara Republik Indonesia, nikah dini usia 17 tahun termasuk nikah kebelet alias terburu-buru. Akan tetapi bagi saya pribadi, keputusan nikah dini sangat prestisius ketimbang berasik masuk dengan pasangan musiman. Dan lebih parah lagi dengan mengunggahnya ke Instagram atau Vlog, seperti dilakukan gadis SMA yang sempat viral beberapa hari belakangan.

Sebagai single lady saya tak gentar apalagi sampai gamang dan kehilangan keseimbangan. Sebab saya selalu mencari sisi optimis dalam kehidupan meski saya cukup menyadari bahwa kehidupan berisi orang-orang nyinyir yang senantiasa menemukan cara untuk menenggelamkan ke dasar samudera.

Tapi pernahkah merasa risau dengan kesendirian? Jelas, karena saya bukan malaikat yang mampu menjalani segala. Sedih? Pasti. Sebagai manusia perasaan macam itu sangat normal. Tapi stay cool saja, agar tetap waras di dunia yang penuh keabnormalan ini. Juga, tak perlu sibuk untuk terlihat bahagia. Toh saya sangat paham bahwa Tuhan tak memberikan kebahagiaan yang sama, begitupun Ia tak akan melimpahkan kesukaran yang sama pula.

Untuk tukang kompor atau hasadun komuniti, berhentilah membanding-bandingkan pelaku aksi nikah dini dengan mereka yang masih sendiri. Hentikanlah kebiasaan mengipas-ngipasi. Sebab makna menasehati tidak serendah itu.

Kepada mereka yang nikah muda, saya ikut bangga. Kalian sungguh brilian dari mereka yang pacaran, bahkan saking lamanya, ‘ikatan’ belum sah tersebut berlangsung sampai 1 dasarwarsa. Kalian sangat hebat dari mereka yang hanya menginginkan hubungan semu dengan mengandalkan bujuk rayu, yang pada akhirnya berhujung php alias pembawa harapan palsu. Kalian benar-benar keren dari mereka yang punya gebetan tapi memilih bungkam dengan alasan takut akan kata-kata penolakan. Betapa ‘sempurna’ kalian dari para pengecut yang selalu terpanggil menyelesaikan urusan dengan memperkosa, menghujamkan gagan cangkul, kayu, hingga kekerasan yang berakhir tragis dengan kematian. Untuk kalian, semoga karunia Tuhan senantiasa mengucur, tak pernah putus hingga di kehidupan selanjutnya.

Kepada para jomblo, mari jadikan berita panas tentang nikah muda anak lelaki ustadz kondang itu sebagai motivasi, bukan terprovokasi yang alih-alih menyempurnakan setengah iman malah menguar kebejatan.

La tahzan, kata Tuhan. Jangan bersedih. Andaipun masih terselip duka di sudut hati, mari kita lakukan berjamaah. < big hug >

Dinna F. Norris

 

 

 

Ahok dan Keputusan Politik Yang Menuai Gunjingan

Sebagai warga negara Indonesia tentu saja saya memiliki hak bicara, namun situasi berubah ketika saya dihadapkan pada kebisingan pemilihan kepala daerah di ibukota. Saya bukan penduduk Jakarta, tidak memiliki KTP Jakarta. Otomatis saya tidak punya hak suara, tidak bisa memilih siapapun dalam pertarungan kandidat pilkada DKI Jakarta yang diselenggarakan Februari 2017 mendatang.

Oleh karena Jakarta dapat dikatakan sebagai miniatur negara, maka mengamati dan bercoleteh tentangnya merupakan hal menarik, dari sisi manapun itu. Terutama ketika digelarnya pesta demokrasi yang bagi sebagian orang merupakan peristiwa penting yang tak bisa diabaikan. Sekalipun pilkada serentak tahap II diselenggarakan di 101 daerah di Indonesia, yakni 7 Provinsi, 76 Kabupaten dan 18 kota, akan tetapi pilkada Jakarta tetap menjadi top list dan paling ditunggu-tunggu. Sejatinya kontestasi politik Jakarta merupakan pilkada berskala lokal, akan tetapi memiliki cita rasa nasional jika dilihat dari antusiasme warga. Benar-benar membetot perhatian. Namun atmosfer politik ibukota semakin memanas di saat Ahok, sebagai petahana ikut meramaikan bursa pemilukada.

Lebih menarik lagi ketika mendapati ‘mereka’ ramai-ramai menguliti Ahok dari segala penjuru. Mulai dari masalah reklamasi, kasus Sumber Waras, penggusuran, hingga menyoal perkara kecil sekecil remah-remah biskuit Khong Guan. Barangkali karena kasus reklamasi dan Sumber Waras dirasa tak mempan untuk menggulingkan lelaki temperamen ini, mereka pun mengeluarkan album repackage, memutar-mutar tembang lawas, judul lama dengan aransemen baru yakni: etnis dan agama. Jadilah ‘kesialan’ Ahok kian komplit.

Namun ternyata di Jakarta dua hal tersebut tak begitu laku dijadkan isu. Masyarakat terdidik Jakarta tak lagi berpatokan dengan style politik zaman dulu, di mana suku dan agama acap menjadi masalah nomor satu ketika hendak mengepalai sebuah daerah. Mereka lebih concern terhadap portofolio, kinerja, dan prestasi seorang figur, apa visi misi serta program yang dibawanya serta bagaimana ia merealisasikan hal-hal tersebut di daerah yang ia pimpin nantinya. Yang jelas, di era teknologi dan informasi, di saat negara sedang berproses untuk menjadi lebih baik, kuat dan berbudaya, maka isu SARA tak perlu ditendang ke barat ke utara.

Tak puas sampai di situ, mereka mulai menggoreng barang baru. Beberapa tokoh, ya sebutlah begitu, semakin panas dan berisik ketika Ahok diusung oleh 3 kekuatan partai politik: Golkar, Nasdem, Hanura. Lalu mereka berusaha membenturkan Ahok dengan pendukung utamanya yakni Teman Ahok. Mereka sebut Ahok pendusta. Mereka teriak Ahok tak setia. “penghianat tak layak memimpin Jakarta” kata mereka.

Sungguh membingungkan ketika seseorang menganggap perkara dukungan merupakan sebuah pengkhianatan. Dan lebih membingungkan lagi ketika saya mengetahui bahwa tokoh-tokoh yang mengeluarkan pernyataan tadi berpengalaman di bidang politik, bahkan dapat disebut ‘sepuh’ di dunia politik. Semestinya mereka mengerti seluk beluk politik dari A-Z, dapat memahami bahwa aksi dukung mendukung dalam perebutan kekuasaan bukanlah sesuatu yang ganjil atau haram juga bukan sebuah kemustahilan.

‘Taktik yang baik adalah membentuk persekutuan dengan orang yang dapat melengkapi kekuatan kita ketika kita mengumpulkan suara’ tulis Robert K Harris dalam Imperium. Cicero, sebagaimana dituturkan Harris, berusaha mendekati golongan aristokrat untuk mencapai posisi sebagai imperium tertinggi Roma. Menjadi consul merupakan cita-cita mulia sekaligus prestise, dan Cicero harus meraihnya meski melakukan cara yang paling ia benci yaitu bersekutu dengan kelas bangsawan seperti Hortentius, Claudius, serta orang-orang yang berasal dari keturunan sergius.

Ahok yang pernah beberapa kali keluar masuk partai politik, dalam beberapa kesempatan seringkali menegaskan bahwa ia akan maju sebagai kontestan politik melalui jalur Independen, dengan bantuan mutlak dari Teman Ahok. Bantuan ini dimanifestasikan dalam program sejuta KTP yang mereka kumpulkan dari warga Jakarta yang ikhlas memberikan suaranya buat Ahok. Tanda pagar (#) KTPguebuatAhok menjadi trendic topic di lini masa. Dan sukses, Ahok mendulang simpati dari warga.

Seiring perjalanan waktu, pertarungan kandidat semakin sengit, atmosfer politik semakin memanas. Ahok dipastikan sulit menjadi orang nomor satu Jakarta jika hanya mengandalkan kerja Teman Ahok. Menyadari hal ini, Ahok memilih berangkulan dengan partai politik meski menuai gunjingan. ‘The essence of politics is choice’ kata Perdana Menteri Francis, Pierre Mendes. Keputusan politik memang tak bisa menyenangkan semua pihak.

Lalu di mana salah Ahok ketika ia menyambut dukungan 3 partai besar? Padahal jika ingin melanggengkan kekuasaan, kadang-kadang kita harus menggabungkan kekuasaan dengan pihak-pihak yang sebetulnya ingin kita hindari.

Akhirnya saya harus mem-bold tiga catatan. Pertama, Ahok adalah ‘orang baru’ di Jakarta. Ia tentu telah memperhitungkan bahwa hanya dirinya dan ‘teman-temannya’ yang bisa membantunya untuk mencapai kekuasaan. Meski keputusan maju lewat parpol menghasilkan gelombang ‘permusuhan’ di antara para pekerja politik, tapi resiko tersebut setara dengan kans Ahok untuk merebut dan mempertahankan kursi kepala daerah DKI Jakarta. Selanjutnya, Ahok mengincar jabatan Gubernur, sesuatu yang layak diperjuangkan bukan? Dan terakhir, ini Jakarta, sebuah daerah yang menjadi tolak ukur sukses tidaknya seseorang.

Adapun tentang reklamasi dan sumber waras, saya angkat tangan. Lagipula kasus yang sangat rumit dan berbelit-belit tersebut melibatkan banyak pihak serta sudah masuk ke ranah hukum. Sebagai intelektual, saya tak hendak gegabah hingga membuat kesimpulan bergegas.

Selain itu, kediaman saya dan tempat tinggal Ahok dipisahkan oleh jarak yang tak bisa dibilang dekat meski dapat ditempuh selama 2 jam naik pesawat. Meski demikian tetap saja informasi valid maupun data akurat akan terhalang benda-benda langit. Sementara, mengharapkan media memberimu pengetahuan akan kebenaran, sama saja seperti mengharap buah durian pada musim salak. Adalah benar tatkala pers mengamati dan meliput berita dengan seksama. Juga benar, ketika berita yang dilaporkan ke khalayak luas secara terus menerus ini acap kali dibingkai berbagai analisis dari yang biasa hingga yang seram.

Karena itu saya memilih slow motion, mengikuti berita-berita di internet dan televisi sambil sesekali mengerutkan dahi. Ditambah lagi saya tak gemar berkoar-koar tentang apa-apa yang saya tidak ketahui. Khawatir berpotensi fitnah. Bukankah alfitnatu assyaddu minal qatli?

Karena itu pula saya terus dan selalu menunggu kabar KPK perihal status Ahok. Kadang tak sabar dengan kerja lembaga anti rasuah ini yang terkesan lamban ‘membereskan’ satu orang. “jika benar lelaki temperamen itu penjahat, kapan sih ini orang berganti status jadi tersangka?’ gumam saya saat melihat Ahok ‘masih’ duduk di kursi saksi.

Namun sampai saat ini saya masih percaya pada KPK. Bagi saya lembaga ini sangat prestisius, cukup kredibel dan masih bertaji. Terbukti ketika pada akhirnya KPK menempatkan AU sebagai tersangka dalam kasus suap Hambalang. Padahal saya mengidolakan AU sejak beliau berdinas di KPU kala itu. Kami juga berada di organisasi yang sama walaupun berbeda struktur dan generasi. Tapi karena bukti-bukti dan kasus suap AU yang disiarkan di pengadilan sudah terang benderang, makasaya akur. Saya ‘bermakmum’ pada KPK.

Dan untuk Ahok, meski saya salah satu pengagum pria etnis Tionghua itu, saya tetap mengharapkan hal yang sama agar KPK tidak bertele-tele, tidak tebang pilih membereskan penjahat berdasi, siapapun orangnya. Karena menjadi pengagum bukan berarti bersifat taqlid buta akan tingkah polah seseorang yang dikaguminya, bukan pula mengkultuskan individu hingga tak siap berhadapan dengan tabir kebenaran yang terkuak nantinya.

 

Dinna F. Norris

 

31

Sebelumnya saya ingin mengucapkan terimakasih pada kalian, karena begitu concern pada kegelisahan yang saya goreskan di halaman Diary Elektronik ini. Mulai dari membubuhkan komentar atau sekedar meninggalkan jejak, mengirim email atau bahkan mengukir doa, sampai menanyakan alamat yang tujuannya amat syahdu, yakni mengirim kado di hari ulang tahun saya yang ke-31, pada Februari lalu.

Yes, I’m thirty one. Usia yang cukup matang bagi seorang perempuan untuk bertindak secara dewasa, memilih dengan tepat, bicara dengan bijak. Teorinya demikian. Tapi perempuan bukan robot yang konsisten dengan kekakuannya, sebab akan (selalu) ada saat di mana hidup menghempaskan saya pada realita paling jahanam terlebih lagi jika dihadapi sendirian. Hingga benteng kedewasaan yang saya bangun retak dengan sendirinya. Saya bereaksi di luar batas, batas yang saya sendiri telah tetapkan tentu saja. ‘gak dewasa lu’, pada akhirnya kalimat demikian akan terlontar dengan cepat seperti peluru. Begitu pula memilih dengan tepat atau bicara dengan bijak.

Kadangkala orang dewasa juga melakukan hal-hal ‘yang tidak pada tempatnya’, membuat pilihan yang salah, serta bicara sekenanya. ‘We are only human, sometimes we make mistakes’, kalimat itu selalu saya pegang erat-erat agar saya sadar bahwa membuat kesalahan adalah manusiawi, sebab saya bukan malaikat yang pada saat penciptaannya dibekali tabiat syurgawi. Namun bukan berarti kesalahan-kesalahan tadi dibiarkan meluap tanpa memetik ikhtibar dan hikmah di baliknya. Karena hidup tidak seremeh itu. Terus belajar dan berupaya memperbaiki kesalahan adalah bukti kita menghargai kehidupan.

Lantas, ada yang berubah setelah berada di angka 31?

Perubahan itu wajib. Apapun ceritanya, tak peduli dengan angka-angka yang terus bertambah di tiap tahunnya, hidup harus berubah ke arah lebih baik, lebih terarah, lebih bermanfaat. Seperti beberapa tahun lalu di mana saya cukup emosional ketika orang-orang menyoal status kesendirian saya, sekarang ini, komentar-komentar sejenis itu tak lagi terasa menyakitkan. Sudah kebal? I’m Human, bukan alien. Bahkan sekelas Mutan pun bisa merasakan sakit hati.

Hanya saja saya lebih memilih ‘cooling down’ menghadapi kenyinyiran. Karena yang begituan, gak asik diladeni. Energi akan terbuang percuma ketika berhadapan dengan orang-orang yang bertujuan ingin menenggelamkan kita ke dasar bumi. Menyoal kesendirian saya, tidak akan membawa manfaat baik bagi kehidupan ini. Begitupun ketika meladeni orang-orang tersebut, tak ada ilmu yang bisa saya petik untuk dibawa pulang. Anyway, dengan tulus saya memaafkan para pembully dan no hurt feeling to you guys.

Yess, I’m thirty one. Yess, saya masih sendirian. Saya pikir, mengenai kesendirian ini, tak ada yang perlu saya khawatirkan. Saya hanya mencari sisi optimis dalam kehidupan. Meski saya cukup menyadari bahwa kehidupan memang berisi masalah kompleks. Karena itu memilih depresi dengan takdir yang tak mampu saya kuasai, bukan suatu bentuk penghargaan pada Tuhan.

Cheers…