Beberapa hari lalu, kita dikejutkan mengenai status kewarganegaraan seorang Archandra Tahar, menteri ESDM di Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. Tadinya saya menganggap hal tersebut hanya sebuah desas-desus yang sengaja dihembuskan oleh rival di sekitar Presiden. Sebab kursi kepresidenan merupakan sasaran empuk bagi gosip, cibiran, provokasi dan intervensi. Karena itu saya memilih cooling down sembari terus mengamati.
Namun informasi yang kali pertama dibunyikan oleh Ferdinand Hutahean, pengamat energi dari LSM Energy Watch Indonesia, ternyata bukan bisik-bisik tetangga. AT, memegang dua paspor yakni Amerika Serikat dan Indonesia. Sontak seluruh mata memandang AT sebagai ‘persona non grata’, sosok yang tidak diinginkan, tidak disukai. Berupa-rupa komentar segera berhamburan seperti peluru, dari seluruh penjuru. AT dipergunjingkan, dibahas, dianalisa. Tak ayal, pemuda kelahiran Padang-Sumatera Barat ini menjadi topik panas di negerinya sendiri, Indonesia. Sebuah negeri yang penduduknya tergolong pintar-pintar dalam berkomentar, rajin membaca, mayoritas berprofesi sebagai pengamat dan ahli.
Mengenai kasus dwikewarganegaraan yang menimpa AT, saya berusaha menahan diri, tak hendak latah berkomentar. Saya tak ingin terjebak dalam kenyinyiran yang terstruktur. Seperti kata Maria, tokoh rekaan Coelho dalam novel kontroversialnya Eleven Minutes, ‘mereka suka berpura-pura mengetahui sesuatu, supaya dianggap lebih berbudaya dan lebih cerdas’.
Sebab sampai saat ini saya belum benar-benar memahami mengapa perkara dwikewarganegaraan menjadi ‘sebuah masalah’. Padahal kita selalu menyaksikan bagaimana status warga negara para pemain bola Indonesia dinaturalisasi secara by pass, kemudian para artis berdarah campuran (status warga negaranya masih dipertanyakan) yang wara-wiri di dunia pertelevisian, belum lagi mereka yang berkewarganegaraan ganda namun belum atau tak terdata, yang mengais rezeki di Indonesia.
Lagipula, bukankah kita sangat mengagumi produk-produk asing dan sebelumnya tak pernah bermasalah dengan itu? Kita termehek-mehek dengan bule yang mengucapkan ‘apa kabar, selamat pagi’. Kita langsung jatuh hati pada orang asing yang menyantap nasi goreng dan mengunyah-ngunyah bakso. Kita merasa berkelas ketika berbicara keinggris-inggirisan. Kita ‘menjadi’ keren dengan menggunakan Chanel, Louis Vuitton, Prada, atau Zara. Kita gandrung pada semua pelakon felem-felem luar negeri mulai dari Mahabharatta, Uttaran, Fatmagul, Full House, dan sebagainya. Malah, dengan bangganya salah seorang pemilik perusahaan media televisi mengundang artis-artis tersebut berlenggak lenggok di layar kaca. Sebagian kita menangis haru, sebagian lagi menjerit bahagia seraya melonjak-lonjak kegirangan. Kalau bisa jumpalitan.
Lalu kenapa giliran status dwi kewarganegaraan tersebut terselip di kursi menteri, semudah itu kita meradang? Dengan gagahnya kita berteriak-teriak tentang nasionalisme. Tanpa berusaha menyelami akar masalah, kita tuduh AT sebagai double agent yang sengaja disusupkan untuk mencuri informasi rahasia negara. Kita paksakan segala quote dari tokoh-tokoh untuk menyoal status dwikewarganegaraan AT. Kita menggelarnya pembohong. Dengan gegabah kita mulai membentuk opini dengan menyebutnya imperialist yang memanifestasikan diri dalam bentuk WNI.
Kita tahu bahwa AT besar dan tumbuh di Indonesia. Kita tahu pula ia mengenyam pendidikan sejak Sekolah Dasar hingga berhasil menamatkan studi di Institut Teknologi Bandung. Setelah itu AT hijrah ke Texas, melanjutkan kuliah ke University Ocean Engineering, dan menetap selama 20 tahun lebih di Amerika. Karena kejeniusannya (memiliki pengalaman selama14 tahun di lapangan dalam bidang hidrodinamika dan teknik offshore, memiliki 3 hak paten yang berkaitan dengan offshore seperti teknologi McT ‘Multi Column TLP’ Floating Platform dan menjadi salah satu standar hidrodinamika untuk industri, sumber: detik.com), AT ‘dihadiahi’ WN Amerika. Lantas berdasarkan masa menetap dan bukti paspor Amerika tersebut dengan tergesa-gesa kita mencapnya tidak nasionalis?
Saya ingin mengajak kita berjalan-jalan sebentar ke masa lalu, melongok episode era Sutan Sjahrir, salah seorang Bapak Revolusi sekaligus Perdana Menteri pertama Indonesia. Sjahrir, disebut elitis karena orientasinya terhadap barat dinilai sangat kental oleh para pemimpin kala itu. “Aku relatif kurang populer di kalangan orang-orang nasionalis dan intelektual di Indonesia. Ini untuk sebagian besar disebabkan karena aku mempunyai apa yang disebut mereka itu ‘kecenderungan-kecenderungan Barat’ dan beberapa orang malahan mengatakan aku ‘kebelanda-belandaan’”, (Banda Neira, 9 Maret 1936). Anggapan tersebut semakin kuat ketika ia memilih menggembleng diri di Belanda dengan tujuan studi pada tahun 1929. Kepribadiannya dinilai sangat lekat dalam iklim Barat. Namun tuduhan tak berhenti sampai di situ, tak tanggung-tanggung ia bahkan dituduh menjual negara.
Ia mengkritik perjuangan politik yang kaku, yang bertuankan moralitas. Seperti termaktub dalam salah satu suratnya selama berada di pengasingan di Banda Neira “Politik untuk orang-orang kita di sini bukan berarti: perhitungan, melainkan bertindak etis, berbuat dan bersikap moral tinggi. Pemimpin-pemimpin haruslah pahlawan-pahlawan, nabi-nabi.”
Di sini, saya tidak sedang berusaha mensejajarkan kepahlawanan Sjahrir yang digelar ‘Bung Kecil’ dengan AT sebagai (mantan) menteri ESDM, meski keduanya sama-sama pemuda Sumatera Barat. Akan tetapi, motif yang disematkan pada Sjahrir, menjadi motif yang sama pula yang disematkan pada AT: antek asing, tidak nasionalis.
Padahal, tentang nasionalisme ini Sjahrir pernah menulis dalam suratnya “aku hampir-hampir hendak mengatakan bahwa nasionalisme ialah proyeksi daripada kompleks inferioritas dalam hubungan kolonial antara bangsa yang dijajah dan bangsa yang menjajah. Jadi, dari semula dasar propaganda nasionalistis adalah suatu perasaan yang tidak rasional.”
Mendapati kasus ini, beribu tanya berkelebat di benak. Akan tetapi saya tak ingin menduga-duga seperti mana dilontarkan orang-orang di berbagai sosial media: mengapa AT bisa lolos screening test sebagai menteri ESDM, siapa behind the scene di balik nama AT, mengapa namanya bisa masuk daftar menteri, mengapa sekelas Presiden yang memiliki pembantu lengkap bisa kecolongan, bagaimana status AT jika dlihat dari kacamata hukum, bagaimana dengan program-program yang telah ditandatangani AT, apakah AT melanggar konstitusi, atau ini murni kesalahan Presiden, ini ulah AM. Hendropriyono, ini permainan Megawati, ini ketololan Sutiyoso berserta intel Banyu Biru, dan beragam tanya serta dugaan lainnya.
Sebab bagi saya sikap menduga-duga hanyalah milik dukun, tukang ramal atau paranormal, bukan ciri seorang intelektual. Saya juga tak hendak tergolong sebagai ‘pengguna sosial media paling berisik tapi tak ada signifikansi’, seperti kata Macbeath. Jadi saya menahan diri untuk tidak mengatakan apa-apa yang saya tidak ketahui. Tidak hendak membicarakan apa-apa, yang saya hanya memiliki sedikit pengetahuan dan informasi tentangnya.
Selain itu, berbagai kelemahan saya seperti jarak yang jauh dari lingkar kekuasaan, tidak terdaftar sebagai anggota persatuan mahasiswa indonesia amerika, serta tidak mengambil prodi hukum, membuat saya tak kuasa untuk mengomentarinya lebih jauh. Dan yang terpenting, saya tak ingin tulisan ini bertujuan hanya untuk menambah kisruh dan menciptakan polemik, terlebih lagi berpotensi fitnah.
Namun perlu saya tekankan bahwa saya tak melarang siapapun berkomentar mengenai kasus dwikewarganegaraan AT, sebab saya tak kuasa membungkam mereka yang teramat bernafsu mengeluarkan pendapat. Ditambah lagi, sistem demokrasi yang kita anut menolerir hal itu. Setiap orang bebas berkicau apa saja, terlepas dari benar atau salah, fakta atau dusta, mutakhir atau sumir.
Benar adanya bahwa negara ini dikelola atas nama konstitusi, dan untuk kasus AT, Indonesia tidak menganut dwikewarganegaraan sebagaimana ditegaskan pada pasal 23 Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006. Akan tetapi AT meyakinkan bahwa ia masih memegang paspor Indonesia. Ia datang ke Indonesia atas seizin Presiden yang menugaskannya menjadi Menteri ESDM menggantikan Sudirman Said yang baru-baru ini direshuffle.
Rupanya ‘wajah Padang’ dan ‘logat kental daerah’ yang ia tunjukkan tak menjadi penawar bagi pemegang kebijakan. Ternyata pengalaman belasan tahun serta segala paten yang ia miliki tak menjadikannya mempan berhadapan dengan pembuat keputusan. AT dipecat secara hormat dari tugasnya sebagai Menteri ESDM. Ia jadi menteri ke dua setelah Mahfud MD (Menteri Pertahanan era Abdurrahman Wahid yang menjabat selama 21 hari) yang menduduki kursi menteri tercepat, terhitung 20 hari sejak menjabat.
Belajar dari perkara yang mementalkan AT dari kursi menteri, saya coba melihat dari sisi paling utara bahwa,
- Politik menjadi sangat seru bila yang berada di arena adalah presiden dan partai pengusung
- Presiden yang berasal dari sipil sangat rentan akan gesekan. Karena secara politis, sebenarnya ia berdiri ‘sendirian’. Ia senantiasa dikelilingi oleh macan-macan lapar yang siap menerkam mangsa. Berbeda halnya dengan pemimpin dari kalangan militer. Otomatis ia akan bersikap jumawa menggenggam tahta, karena merasa ada sebuah kekuatan terorganisir yang siap sedia mem-back up-nya. (Khusus di Indonesia, kecenderungan pejabat militernya yang suka ikut campur dalam urusan politik).
- Ketika seorang pemimpin merasa telah berada di jalan lurus, ternyata dalam perjalanan yang sesungguhnya, ia baru menyadari bahwa berpuluh tikungan menantinya di depan. Ia keseleo di jalan mulus
- Kekuasaan ibarat dua sisi mata uang. Seperti kata Goenawan Mohamad dalam Capingnya yang berjudul ‘pemimpin’: justru di pucuk kekuasaan lah seseorang perlu melihat bahwa kekuasaan itu tak hanya membantunya naik, tapi juga memerosotkannya pelan-pelan
- Terakhir, saya hendak mengutip kalimat Vaclac Havel, mantan Presiden pertama Cekoslowakia: ‘politik seperti sebuah medan perang para lobbyist (untuk kepentingan spesifik) yang terpisah-pisah’.
Pada akhirnya, saya ingin menutup tulisan mengenai dwikewarganegaraan ini dengan pernyataan Sjahrir ketika Partai Sosialis Indonesia yang ia gawangi gagal dalam pemilihan umum, sebagaimana saya kutip dalam Tempo edisi 100 Tahun Sjahrir tanggal 15 Maret 2009. Sjahrir menuliskan pernyataan tersebut di harian Sikap, 5 Desember 1955, dalam artikel bertajuk ‘Pemilihan Umum Untuk Konstituante’: “para politikus dengan kekurangan pengalaman dan pengetahuan mungkin dapat membawa negara ke jalan buntu, tapi seluruh rakyat akan membantu negara menemukan jalannya.”
Dinna F. Norris