Sudahkah anda menerima serangan fajar hari ini?
Semestinya Minggu 6 April kemarin merupakan masa tenang jelang hari pemilihan tiba. Artinya, tidak boleh ada aktivitas politik yang disuguhkan para peserta politik dan Tim Suksesnya, baik dalam bentuk apapun dan bagaimanapun. Begitu juga halnya dengan atribut, harus ditertibkan agar tak lagi bersliweran di depan mata. Selain melanggar aturan dan mengganggu pemandangan, sisa-sisa semacam itu turut mengusik pikiran.
Seolah-olah masyarakat dipelototi sepasang mata penuh makna: “pilih saya!” dan ketika sampai di tempat pemungutan suara mendadak lupa pada ‘bisikan’ minggu kemarin. Apa pasal? Ia latah, akhirnya yang terngiang hanya sepasang mata pagi tadi.
Selain itu masyarakat juga dijejali beragam visi misi yang membingungkan, yang tak sengaja terbaca lewat plakat-plakat, baliho, dan spanduk-spanduk yang masih bergentayangan di jalan. Apa sebab? Ya, visi misi tersebut semuanya bagus-bagus, apik, dan hebat. Siapa tak bimbang? Salah-salah calon pemilih yang sudah punya bayangan siapa yang akan dipilih, mutar arah.
Maka jelaslah bahwa idiom purba ‘peraturan diciptakan untuk dilanggar’, sungguh tak berkarat. Ia tetap awet meski pagi berganti siang, siang berganti malam, pun tak lapuk dilantak panas hujan. Jelas-jelas jadwal masa tenang, tapi beberapa kontestan politik dan kroni-kroninya masih saja bergerilya membagi-bagikan sembako dan angpau. Bahkan sangat antusias hingga mengundang decak kagum. Padahal money politic itu sendiri pun termasuk dalam kategori kriminal, apatah lagi dilaksanakan pada masa tenang. Sungguh kedermawanan yang tak bermartabat. Sosok penyayang yang tak kenal waktu dan tempat. Rupanya bagi orang-orang pandai ini, peraturan hanyalah suatu kesepakatan etik yang diresmikan saja. Tak lebih.
Ini bukan perkara main-main. Barangsiapa yang telah memancangkan niat untuk menjadi pemimpin, harus siap dengan segala konsekuensi. Memimpin dengan jujur dan arif, bukan memimpin untuk coba-coba. Seorang tokoh, pemimpin, atau siapapun yang mendedikasikan hidupnya untuk mengabdi, semestinya tak berperangai lancung. Karena menjadi pemimpin harus sadar betul bahwa mereka mengemban amanah, meperjuangkan harapan rakyat, berdiri di atas negara, bukan di atas ranjang pribadi.
Pemimpin bukan tikus-tikus got yang mesti disuap dan dilayani. Lantas tak perlu membeli simpati. Jadilah politisi yang sebenarnya. Menjalin komunikasi yang bagus dengan masyarakat dan bertindak sebagai manusia saja.
Jika terpilih, laksanakanlah program-program kampanye yang mana telah anda teriakkan di hadapan publik. Jangan coba-coba berkhianat. Sebab orang yang memanfaatkan cita-cita dan harapan orang lain, tak lebih dari seorang pecundang. Jika tidak terpilih, maka saya harus mengucap selamat. Sebab anda tak perlu mengarang cerita untuk berbohong juga tak perlu ingkar janji. Sehingga sebagai manusia anda tak kehilangan harga diri.
Rakyat bukan kumpulan anjing-anjing lapar yang harus dijejali rupiah, sembako, dan diiming-imingi jabatan pegawai negeri. Lantas tak perlu memelas. Memang serangan fajar dapat memperpanjang nafas barang sehari dua hari, tapi tak berfungsi untuk mewujudkan impian akan kesejahteraan. Anda, saya, dan kita semua, ada di bumi ini untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, bukan untuk membangun sarang penyamun.
Bila anda ‘terlanjur’ menerima ‘titipan’, bolehlah saya mempertanyakan eksistensi anda hidup di dunia ini. Namun bila anda tetap istiqomah menjadi pribadi yang jujur, itu merupakan sikap langka yang patut diapresiasi. Kejujuran kadang bisa membuat langkah terhenti, tapi kejujuran tak kan menjadi penghalang rezeki.
Saya pantas berterimakasih, ternyata masih ada manusia berhati mulia. Sekaligus selamat, anda telah memantaskan diri menjadi rakyat yang bermartabat! Mari bersama-sama kita mengikis kecurangan demi kecurangan yang telah menjamur di negeri ini.
DF. Norris, 7 April 2014
Nb: maaf, telat posting 🙂