Bercakap-cakap Pasal Coup D’état

Entah siapa yang memulai, tapi pemberitaan mengenai kudeta ini nampaknya tak lagi semacam bisik-bisik. Namun ia semakin berisik hingga efek yang diciptakannya cukup mengusik. Agaknya sembari menyelipkan harapan agar kabar kudeta ini nantinya mampu mendongkrak oplah ataupun mendulang ‘klik’ pada portal online, maka masing-masing media gencar membahas kemunculannya, baik terang-terangan maupun malu-malu –yang mana lebih dikarenakan pada kaburnya informasi yang diperoleh.

Tak hanya media, sebagian penduduk negeri ini pun ikut terpecah konsentrasinya antara mengamati Piala Dunia atau perkara kudeta. Para pengamat sibuk menerka-nerka apakah gerangan yang mempelopori kehadirannya, para politisi saling lempar wacana, pun para pembicara setingkat warung kopi begitu asik memperbincangkan manfaat apa yang didapatkan jika kelak terjadi kudeta. Akan tetapi, jika dilihat dari keseriusan topik yang dibicarakan, rasa-rasanya para pembicara setingkat warung kopi saja yang lebih realistis. Rakyat memang paling polos, seringkali.

Mengapa urusannya begitu ruwet, sampai menyebabkan seorang Presiden panik hingga lekas-lekas mengumumkan bahwa ada beberapa kelompok yang ingin menggulingkan pemerintahan yang sah? Mengapa demikian dramatis hingga Presiden merasa perlu bertemu dengan tujuh jendral purnawirawan TNI dan juga ‘berjabat tangan’ dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto?

Meski Presiden tak menjabarkan siapa-siapa kelompok yang akan melakukan kudeta tersebut, akan tetapi menurut beliau, soal kudeta ini ia dapatkan dari data intelijen.

A1? Tak tahu. Yang jelas pemberitaan kudeta ini akan didahului oleh demo besar-besaran dengan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat yang antipati terhadap kinerja Presiden, kelompok-kelompok yang ‘konon’ bertujuan ingin menyelamatkan negara dari krisis dan kehancuran, kelompok-kelompok yang katanya berjuang menegakkan kembali kejayaan Indonesia. Namun disamping itu, Kepala Badan Intelejen Negara Letjen Marciano Norman memastikan tidak ada upaya kudeta dari pasukan bersenjata.

Dengan demikian, apa sebenarnya kudeta itu?

Kudeta berasal dari bahasa Prancis coup d’ Etat, atau biasa disingkat dengan coup  yang berarti merobohkan legitimasi pemerintahan atau mengambil alih wewenang dari sebuah pemerintahan yang sedang berkuasa. Kudeta akan sukses bila terlebih dahulu dapat melakukan konsolidasi dalam membangun adanya legitimasi sebagai persetujuan dari rakyat serta telah mendapat dukungan atau partisipasi dari pihak non-militer dan militer

Di sisi lain, Peneliti Senior CSIS Washington DC, Prof. Dr. Edward Luttwak (Kudeta: Teori dan Praktek Penggulingan Kekuasaan, 1999) membedakan metode pengambilalihan kekuasaan ini antara putsch (biasanya terjadi pada saat perang atau pascaperang) yang dilakukan satu faksi angkatan darat, pronounciamiento (kudeta militer ala Spanyol/Amerika Latin) yang dilakukan oleh seluruh tentara, dan Coup d’ Etat (kudeta) yang bisa pula melibatkan orang sipil.

Dalam paparannya, menurut Luttwak kudeta membutuhkan bantuan intervensi massa atau kekuatan bersenjata yang besar. Prasyarat kudeta: a) krisis ekonomi berkepanjangan diikuti pengangguran besar-besaran, b) perang yang lama atau kekalahan besar dalam bidang militer/diplomatik, c) instabilitas kronis di bawah sistem multipartai.

Luttwak menekankan pentingnya kecepatan dalam melakukan kudeta. “Perlu penetrasi penuh terhadap kekuatan yang bisa menentang gerakan ini sebelum dan segera setelah kudeta.” Tentara dan polisi harus dinetralisasi. Demikian pula partai politik, organisasi keagamaan dan serikat pekerja. Mutlak dikuasai fasilitas strategis (media massa, stasiun radio-televisi, bandar udara), jaringan keluar-masuk kota, dan titik-titik lalu lintas sentral. Terlihatnya tank-tank di tengah ibu kota menjadi simbol kudeta.

Sebenarnya perkara kudeta bukan ‘barang’ baru di Indonesia. Bisa dilihat dari aksi-aksi penggagalan sejak zaman pemerintahan Soekarno seperti pada gerakan 30 September dan peristiwa Malari; pada era pemerintahan Presiden Habibie di mana dalam bukunya Detik-detik Yang Menetukan – ia menegaskan bahwa Prabowo bersiap mendatangi istana dan mengancam akan mengerahkan pasukan- sampai pada era kepemimpinan Soeharto di mana para mahasiswa yang menyemut itu menduduki gedung DPR/MPR demi menuntut agar Soeharto lengser.

Hendak bagaimana ia disebut, yang jelas usaha-usaha penggagalan pemerintahan ini telah terekam dalam jejak sejarah negara kita. Meski berbagai usaha kudeta yang tak rapi tersebut acap termentahkan, namun ia bisa menjadi suatu gerakan yang mengancam stabilitas pemerintahan. Bukan ingin menakut-nakuti, akan tetapi aksi ini perlu mendapat perhatian besar oleh presiden selaku kepala pemerintahan untuk lebih wibawa menjadi nakhoda di atas kapal Indonesia.

 

Penulis:

Dinna F Norris, beralamat di jalan Medan-Johor 19A, seorang  pemerhati politik, alumni ilmu politik-FISIPOL USU 2007.