Norak

“orang tidak seperti angka. Mereka lebih mirip surat. Surat menjadi kisah. Dan kisah harus dibagi”

Apa yang kamu rasakan ketika (kelak) membaca blog saya tentang pesan ‘mak mertua’ tersebut? Kamu marah? kamu tersinggung? Atau merasa bagaimana? Saya tak sabar menanti reaksi seperti apa yang akan terjadi. Kenyataanya, betapa saya menikmati perjalanan tiap inci luka yang mengalir dalam tubuh seseorang. Saya akan menyaksikan segurat wajah memerah, mata berair, terduduk lemah, terperangah. Kemudian saya berlalu meninggalkan mereka di belakang seraya cermat mengawasi irama lolongan pilu

Kamu telah memantik api, boi. Sayangnya kamu terlambat menyadarinya. Jika saja kamu mau berpikir ribuan kali sebelum menulis pesan facebook itu pada saya, tentunya saya tidak akan bereaksi dengan menulis serta memaparkan kisah pesanmu di personal blog saya. Jika saja kamu mau mempelajari sedikit saja tentang keakraban, tentunya di situ kamu akan memahami arti sebuah rangkulan di lengan. Jujur saja, ini merupakan kasus terburuk dan ternorak dalam hidup saya. Mengutip ungkapan mbak Marisa Haque, satu kata, kamu kamseupay (kampungan sekali, udik, payah).

Mungkin setelah kasus ini akhirnya kamu bisa paham siapa saya bukan? Saya tak sama seperti perempuan-perempuan yang kamu kenal. Saya berusaha untuk tidak melukai siapapun, sekalipun mereka mencoba menjahati saya. Namun perlu kamu tahu, pada hakikatnya orang jahat hanya akan menggali kuburnya sendiri.

Pada kenyataannya saya adalah perempuan penyuka kata-kata dan tanda tangan. Karena mereka akan menjadi jejak bahwa sesuatu pernah terjadi di sini, di dunia ini. Salah satunya kata-kata yang kamu tuliskan pada saya melalui pesan facebook. Lebih manis kalau menyebutnya sidik jari. Kamu setuju? Dan saya, telah memanfaatkannya.

Bagaimana kamu melihatnya? Itu kriminal? Tindak kejahatan? Sebelum itu, rule game yang harus dipahami, bahwa kriminal akan beraroma buruk di hadapan orang-orang yang tak terbiasa megecapnya. Kriminal akan menjadi mengerikan di hadapan orang-orang yang tak terbiasa melihatnya. Dan berlaku kriminal, tak memerlukan latihan. Sebab ia merupakan potensi yang sudah mengalir dalam nadi. Dengan kata lain, bakat. Kita hanya perlu membumbuinya dengan skill alias keterampilan.

Kendati demikian, saya masih akan merentangkan tangan dan menyunggingkan senyuman demi sebuah perkawanan. Saya pikir setelah kejadian ini mungkin kamu tidak bersedia. Tak apa. Saya tak akan memaksa. Tapi saya memberi kesempatan, semacam waktu, entah ada jerat kasus yang ingin di-rebonding.

Sebentar tadi saya sempat memikirkan mengapa peta perkawanan saya dan kamu berakhir begini. Gara-gara perihal sepele dan norak, secara tak sengaja keakraban telah retak. Atau apa memang benar bahwa sejatinya Indonesia dan Malaysia tak layak berdampingan dengan rukun dan bahagia? Terlampau liar memang pemikiran saya. Walaupun demikian, akal sehat saya tak bermasalah.

Ah, lebih tepat rasanya jika saya mengatakan bahwa perkawanan kita memang tak putus, tapi kita tak pernah memulainya. Setelah ini, tak ada lagi tentang kamu untuk dituliskan. Ck, apapun reaksimu di kemudian hari, saya pastikan saya tak pernah (lagi) peduli.

Sekian