Tentang rambut dan teman hidup

Pada masa ketika emak masih terjaga, emaklah yang selalu bertugas mengurus rambut panjang saya. Disisir, diberi minyak kemiri, kemudian didandan. Tiga hari sekali rambut saya dikeramas. Jika dirasa terlalu panjang dan bercabang, ujungnya dipangkas. Sedikit saja. Supaya terlihat rapi dan lemas.

Rambut saya lurus, hitam dan panjang sampai ke pinggang. Jika saat itu saya ikut casting iklan, saya yakin, tepatnya meyakin-yakinkan diri, bahwa produser akan menerima saya untuk membintangi iklan sabun cuci.

Model kepang paling tenar di ketika itu adalah kuncir kuda. Jadi tiap ke sekolah rambut hitam saya selalu dikuncir kuda. Jalinan rambut itu akan bergoyang kiri ke kanan tiap kali saya berjalan.

Pernah sekali dipotong pendek gara-gara kutuan. Emak panik melihat kutu yang beranak pinak di kepala saya. Kadang-kadang mereka piknik di jangat. Lalu pindah ke poni. Mereka juga gemar bersembunyi di balik telinga.

Jijik? Iya, saya juga jijik bila mengingatnya. Tapi karena masih berupa anak gadis berseragam putih merah, saya cuek saja dengan kutu-kutu yang hilir mudik tanpa mengenal waktu. Saya lebih memilih sibuk dengan patok lele, bermain kelereng, dan tambuku. Sementara kepanikan emak yang amat berisik, membangunkan keluarga kutu yang sedang asik memahah biak, pelan-pelan menghisap darah menuju tengkorak.

Akhirnya Emak membawa saya ke salon khusus perempuan. Rambut saya dibabat. Gonjes, begitu nama model rambut pendek itu. Tapi setelah melihat gambar mendiang Lady Di seukuran post card yang tertempel di lemari buku, baru saya sadar bahwa model rambut pendek saya persis rambut ibu Pangeran William.

Poto kenangan berambut Lady Di tersebut masih awet tersimpan di album poto dengan cover bergambar Meriam Belina. Setelah dipandang-pandang, ternyata berambut pendek sangat menyenangkan. Merawatnya cukup mudah dibanding rambut panjang. Hemat waktu, kalau sudah kering tinggal disisir pakai jari. Setidaknya dua hal tersebut sangat dibutuhkan oleh tipe pemalas seperti saya.

Ngomong-ngomong, ayah tak pernah mengizinkan anak perempuannya berambut pendek, terkecuali alasan darurat dan dapat dimaklumi. Itulah sebabnya rambut saya masih panjang hingga ke lutut, sampai kini.

Apalagi setelah berkerudung, rambut ini tak pernah lagi tersentuh gunting pangkas walau sekedar dirapikan. Hanya dikeramas dan disisir dua kali sehari. Ia terus memanjang tanpa saya peduli.

Saya bisa saja mengelabui ayah dengan mengatakan kalau rambut saya masih tetap panjang. Toh, rumah ayah dan rumah yang saya diami jaraknya berjauhan. Satu provinsi, tapi beda kota. Lagipula saya memakai kerudung, di dalam dan di luar rumah. Tentu sangat sulit bagi ayah mengintai rambut saya.

Akan tetapi berbohong bukan ciri seorang muslim sejati. Dan ayah terlalu berharga untuk saya sakiti.

Tentu saja keinginan untuk memiliki rambut pendek tetap terpatri di hati. Rencananya akan saya bawa ke salon  jika tiba saat menikah nanti. Sebut saja wish list. Tapi jodoh saya seperti hilal yang acap jadi perdebatan tiap mendekati ramadhan. Belum kelihatan.

“Bagaimana kalau jodohnya masih lama?” Tanya Lily, adik bungsu saya.

Pertanyaan yang membuat jantung berdegup kencang. Lama saya terdiam hingga akhirnya suara saya mencelat keluar dengan jawaban terpasrah.

 

“Biarkanlah. Barangkali akan terus memanjang sampai menyeret tanah. Tapi doakan saja jodohnya segera singgah.”

Saat itu saya berusia 60. Barangkali setiap pagi saya akan menyeret bangku ke beranda. Duduk bersandar seraya mengamati cuaca. Tersenyum, menyahuti tegur sapa orang-orang yang dikenal. Membaca buku sembari memilin-milin rambut yang telah memutih seperti tertumpah salju.

Jika malam tiba, saya kembali duduk di beranda. Melihat cahaya temaram bulan, menghitung bintang, dan membunuh waktu dengan melahap teori Karl Marx, mengangguk-angguk pada petuah Rumi, serta mengulang kembali cerita Andrea Hirata. Tak lupa saya me-turn on DVD Rhoma Irama.

Hingga suara jangkrik lebih bingar dari suara sendiri, maka malam tak lagi bersahabat dengan perempuan tua. Tertatih saya berjalan menuju ranjang.

Sebelum mata mengajak lena, saya memikirkan teman hidup seperti malam-malam sebelumnya. Masih adakah? Masih mungkinkah? Tanpa disadari bulir bening mengalir ke pipi: saya masih dipeluk sepi.

____________

Sinting! Sinting sekali! Itu khayalan tentang kesendirian yang paling buruk dan mengerikan.

Tapi folks, saya tetap ingin memendekkan rambut jika dikhitbah kelak. Bukan karena fashion, melainkan ingin memberikan yang terindah pada dia yang Allah janjikan. Well, doakan ya, agar teman hidup saya segera dipertemukan.