Perempuan dalam Lingkar Kekuasaan

“bahwa kekuasaan Hitler runtuh setelah ia menikahi Eva Braun.”

Pernyataan di atas dilontarkan oleh seorang rekan, lelaki, ketika kami berbicara mengenai peranan perempuan dalam sebuah peradaban, khususnya di lingkar kekuasaan. Saya yang ketika itu mengenyam tahun kedua di salah satu Universitas berflat merah, bergegas meyakini ucapan tersebut, bahkan turut menggaungkannya ke segala ruang. Anehnya, teman diskusi saya yang sebagian besar lelaki, mengangguk setuju. Sekian tahun kalimat itu saya pegang tanpa berminat menelusuri bagaimana cara seorang Eva mengusik libido kekuasaan Hitler. Intinya, percaya begitu saja.

Barangkali doktrin patriarkal masih melekat pada pikiran mereka yang enggan mencari kebenaran. Itu sebabnya cerita Hawa –yang ditengarai sebagai sumber kesalahan sehingga manusia terganjal mengecap Nirwana, menjadi ‘dongeng’ paling anyar yang tak pernah lekang. Memang mudah mencari kambing hitam, apalagi ketika berhadapan dengan ego. Sama halnya dengan kisah Cleopatra yang divonis sebagai penyebab tumbangnya kekuasaan Jullius Caesar. Di sini saya hendak mengamini Paulo Coelho dalam The Devil And Miss Prym, ketika Chantal bertemu dengan laki-laki asing di sebuah desa terpencil, Viscos: “laki-laki mendapatkan kepuasan yang sangat aneh bila merasa diri superior.

Artinya, sejarah selalu ditulis oleh pemenang. Sebab ketika dua kekuatan berseteru, yang kalah dimusnahkan, dan pemenang menulis buku-buku sejarah –buku-buku yang mengagungkan alasan mereka sendiri dan menghina musuh yang kalah. Seperti yang pernah dikatakan Napoleon, “apalah sejarah itu kecuali tabel yang disepakati”. Dan menurut sifatnya, sejarah selalu merupakan cerita satu sisi, dikisahkan kembali sesuai keinginan si penulis. Hasilnya, tak jarang kita melihat dominasi laki-laki sangat kental dalam sebuah penceritaan sementara perempuan semakin termarjinalkan.

Dalam kancah perpolitikan (baca: pemerintahan) Indonesia, porsi untuk perempuan memang sudah ditambah. Bahkan perempuan menduduki posisi-posisi strategis dalam kekuasaan. Akan tetapi, kehadiran mereka masih dianggap sebagai ‘sarat’ demi langgengnya sebuah sistem. Intinya, dewasa ini keberadaan perempuan hanya semacam ‘oase’ di tengah gurun, belum diperhitungkan. Pandangan-pandangan skeptis dan meremehkan acap dilempar ketika mereka diberikan wadah, salah satunya ketika beberapa bulan silam Presiden Jokowi membentuk Tim Pansel KPK yang berisikan sembilan perempuan.

Penggambaran superioritas dan patriarkal banyak ditemui dalam sejarah begitupun dalam prakteknya sekarang ini. Kita memang tak bisa menyangkal bahwa sillok, yang berisi catatan sejarah peradaban ternyata lebih maskulin dari yang kita duga. Kendati demikian sebagian masyarakat juga masih setia menelan bulat-bulat doktrin patriarkal daripada mengalih kebiasaan untuk membuka mata pada fakta baru.

Realitanya, Jerman ‘habis’ karena kesalahan strategi dan pengkhianatan yang dilakukan oleh jenderalnya, bukan Eva Braun. Adolf Hitler, sosok keras kepala dan berperangai mudah meledak ini merupakan laki-laki yang menghabiskan waktunya demi sesuatu yang ia sebut dengan ‘kejayaan Jerman dan ras Arya’. “Ia lebih banyak berkutat dengan peta di meja kerja, dan bermain bersama Blondi (anjing gembala kesayangan Hitler)” tutur Eva. Seperti digambarkan David Irving dalam Hitler’s War, ketika Jerman mendekati hari-hari suram sementara serangkaian berita buruk berselang-seling tanpa akhir, seorang perwira menanyakan padanya tentang kabar kemunduran Jerman. Hitler menatapnya dengan tatapan kasihan seraya berujar: semua kekalahan kita semata-mata hasil dari pengkhianatan.

Mendapati fakta baru ini, akhirnya saya dengan rendah hati dapat menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan khusus antara perempuan dengan jatuhnya kekuasaan seorang pemimpin, dalam hal ini runtuhnya kekuasaan Hitler yang diakibatkan Eva Braun. Demikianlah sejarah mempermainkan kisah. Tentu saja kita tak bisa melulu mengunyah-kunyah informasi lama. Banyak fakta yang belum terungkap, sebab barangkali ia masih terselip, terserak dan tersembunyi pada tumpukan buku yang mengendap di balik lemari.

Perempuan, meminjam istilah Ayu Laksmi, adalah rahim dunia. Ia mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Ia bukan hanya sebentuk tubuh, tapi juga sebuah pikiran yang bebas. Ia adalah harapan. Ia ada bukan untuk ditindas, melainkan teman berjuang yang arif dan cerdas. Seperti yang ditulis oleh Presiden Soekarno dalam bukunya Sarinah: Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.

Akhirnya, tulisan ini hadir tidak untuk memprovokasi atau berkompetisi dengan laki-laki, dan tidak pula untuk meng-kampanyekan emansipasi. Hanya sekedar pendewasaan berpikir, agar kebenaran sejarah tidak dipelesetkan dengan cara murahan dan tidak bermartabat.

* DF. Norris adalah Penulis, Pemerhati Politik, dan Entrepreneur. Ia juga Alumni Ilmu Politik USU, mantan bendahara DPD Gerindra Sumatera Utara, dan Founder Sanggar Pelangi.