Maaf, ini siapa ya?

“apa kabar Na… masih ingat aku gak?” sebuah sms  masuk ke handphone saya pada tengah hari. Hanya deretan nomor 12 digit, tanpa nama. Tapi saya merasa pernah berkomunikasi dengan pemilik nomor tersebut. Lalu saya check di handphone yang lain. Ternyata saya masih menyimpan nomornya. Seorang lelaki yang saya kenal di dunia maya kira-kira tiga tahun lalu, dan asli, tak pernah bertemu muka. Namun di sela-sela jadwal padat siang itu, saya sempatkan menjawab pertanyaannya.

“alhamdulillah baik”  jawab saya sekaligus mengatakan dengan jujur kalau saya juga masih mengingatnya. Tak terasa, kami sudah bercerita sepanjang hari hanya lewat pesan singkat.

Sebenarnya, saya tak begitu suka sms-sms-an. Apalagi kalau hanya membahas sesuatu yang basa-basi bertele-tele, dan membuang-buang waktu dengan pertanyaan lagi ngapain, lagi di mana, apa kegiatan, sudah punya pacar atau belum, sudah makan, sudah minum, dan sebagainya. Bagi saya semua itu percuma. Pertanyaan demikian sangat tidak efesien mengingat terbuangnya pulsa, pegalnya jemari, terkikisnya waktu, terampasnya rehat, teralihkannya fokus.

Apalagi dia laki-laki, tak saya kenal, tak pernah bertatap muka, juga bukan muhrim. Ber-sms sepanjang hari seraya tanya-tanya tentang pribadi adalah sesuatu yang tak elok.

Lain halnya jika orang-orang tersebut adalah ayah dan adik, kakak, abang, keluarga dan sahabat. Itupun tak ada keluarga dan sahabat saya berlaku demikian. Syukur sekali, Allah menghubungkan saya pada orang-orang cerdas, ikhlas, berenergi positiv dan berdedikasi. Tapi untuk lelaki maya tersebut, saya mengapresiasi kehadiran pesannya setelah beberapa tahun silam tak kedengaran. Saya menghargai ‘kebaikannya’ karena masih mengingat saya.

Setelah sempat jeda beberapa jam karena pesannya tidak saya balas, saya pikir ia menyerah. Rupanya pukul 09.00 malam sms darinya muncul lagi. “Naaa…”

“oooiii…” ya, begitu saja jawab saya. Agar ia bisa menangkap maksud tersirat tentang ke-tidak suka-an. Saya pikir reaksi saya cukup efektif sebab satu jam setelahnya ia tak beraksi lagi. Rasanya senang sekali ketika seseorang langsung memahami maksudmu.

Pukul 10.30 pm, waktu Indonesia bagian Sumatera Utara, nada I’ll be right here waiting for you-nya Bryan Adam berbunyi lagi. Semoga bukan dia, batin saya.

“maaf, ini siapa ya?” saya terbodoh membaca sebaris tanya dari nomor yang sama, dari orang yang sama, lelaki maya yang mana sejak siang hingga malam saya ber-sms-an dengannya.

 

May 28, 2013, 10.00 pm

“apa kabaarrr Naaaa…”

Tiga bulan sejak kejadian “maaf, ini siapa ya?”, sekarang pesan singkatnya muncul lagi. Begitu selesai membacanya, segera saya delete sekalian nomor kontaknya dari ketiga ponsel.

Dulu, saya keliru karena telah membuka celah komunikasi yang bebas tanpa batas. Dulu, saya salah karena mentolerir smsnya sampai malam hari. Dulu, saya khilaf karena telah membiarkannya mengetahui ruang pribadi. Tapi sekarang saya mengerti, toleransi harus berdalih, perkawanan harus memilih.

Hei kamu, jika dengan cara demikian kamu mencoba memasuki kesendirian ini, maka kamu tak akan pernah berhasil melakukannya. Karena hati saya, hanya untuk dia yang berani, tentu saja yang Allah ridhoi.

Jika kamu pikir sms-mu untuk menghibur saya, maka kamu salah orang. Sebab selagi Allah bersama saya, maka saya tak akan lama-lama mengizinkan luka dan kesedihan menyelimuti. Selagi Allah mencintai saya, maka saya tak pernah benar-benar sendiri.