Selimut hujan

Malam ini, hujan pertama di bulan November di kota kami. Tanpa blitz petir dan suara batuk guruh. Namun kaki hujan lincah menari di atas atap. Riuh, ramai, gaduh. Pertanda hujan sepanjang malam dan baru akan berhenti setelah fajar datang bertandang. Jalanan sepi dari aktivitas malam dan lengang dari orang-orang yang biasa lalu lalang. Lantas tak ada yang berani menampakkan muka atau sekedar menjulurkan kepala. Lelap adalah pilihan. Kota kecil kami yang berpenghuni lebih kurang 160.000 kepala, benar-benar jadi kota vampire seperti dalam film Recident Evil. Dan aku adalah Milla Jovovic.

Kata para tetua, ini dinamakan hujan pengantin. Hujan rintik-rintik, kemudian berhenti sekejap. Selanjutnya gerimis datang kembali, semakin deras, dan ditutup oleh gerimis yang baru akan berhenti ketika pagi disambut matahari. Hujannya awet. Tapi sampai saat ini, aku tak pernah bisa memahami mengapa hujan bulan November disebut hujan pengantin. Memang, para tetua dikampungku menyebutkan segudang alasan. Menurut mereka, seluruh alam bersatu mendukung niat para insan yang berpasang-pasangan melangkah ke jenjang lebih bermarwah, yaitu pernikahan. Itu sebabnya hujan memberi mereka hadiah terindah, berupa bentangan selimut membuai kalbu, menggiring nafsu berbaring di ranjang sunnah.

Meski tak sepenuhnya setuju, aku hanya bisa mengangguk pasrah karena mereka sudah mulai menggeser topik cerita tentang nasibku, juga tentang dia –entah siapa dan entah di mana- yang tak kunjung tiba. Hendak beringsut, kerah bagai tersangkut di gantungan baju. Aku tak bisa apa-apa. Srigala-srigala tua ini begitu berhasrat melihatku. Mulai mereka menyerangku dengan pertanyaan-pertanyaan umum yang tak menyediakan jawaban pilihan berganda.

“kapan lagi?” Ditanya perihal demikian, aku jawab asal-asalan. “tahun depan”

“dengan siapa?” Perlu kuterangkan padamu kamerad. Bahwa sesungguhnya, pertanyaan tiba-tiba akan membuatmu tergagap hingga kau hanya bisa mengeluarkan apa-apa yang terlintas dalam kepala, tanpa perlu memeras otak untuk berpikir. “dengan manusia berjenis kelamin laki-laki, pakcik”

Pakcik tertua di rumahku cuma bisa geleng-geleng kepala, uwakku berdesis seperti ular, bibi-bibi perempuanku tertegun dengan tatapan mengasihani. Mereka terperangah. Aku syak mereka sudah berpikiran buruk. Kelihatan jelas dari bias wajah yang seperti hendak muntah. Betapa menyedihkan kisah takdirku malam itu. Dan yang paling kurang ajar, saudara-maraku puas tertawa-tawa di belakang sana, di meja dapur sambil memamah biak penuh rasa bahagia.

Pernikahanku rupanya telah dinanti-nanti. Mereka beralasan pada usiaku yang semakin menua. Padahal menurutku, tak ada yang salah dengan itu. Bagiku, usia hanyalah berupa angka-angka, tidak bisa dijadikan alasan mengapa seseorang harus menikah. Karena alasan seseorang ingin menikah haruslah didasarkan pada keyakinan yang teguh dalam dada, bahwa ia ingin mengagungkan perintah Tuhannya dan menjalankan sunnah nabinya. Demikian.

Namun sama halnya dengan mereka, aku ingin pula dihadiahi selimut hujan. Semoga disegerakan..